Hendri Prasetyo

Minggu, 18 Oktober 2015

On 07.09 by Unknown   No comments



Hmm.., sebenarnya film di Indonesia pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut "Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Filmnya tersebut adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan.

Pada tahun 1926, Indonesia membuat film lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng diproduksi oleh NV Java Film Company. menyusul selanjutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.

Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.

Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan
.

#Bangkitnya Perfilman Indonesia

Tahun 1970-an dapat dikatakan sebagai bangkitnya era perfilman Indonesia, Ayah dan Ibu kita dulu mungkin masih terngiang-ngiang dengan film-film lama seperti Ali Topan Anak Jalanan, Romi dan Yuli, dan lain sebagainya, meski demikian jumlah film yang diproduksi saat itu masih 604 judul, tetapi semuanya berkualitas, dan dialog masih sangat kaku dengan menggunakan kata ganti AKU dan KAU.

Memasuki era 1980-an produksi film di tanah air menjadi 721 judul film. Temanya juga bervariasi, era itu adalah eranya Warkop dan H. Rhoma Irama film-film mereka selalu laris bak kacang goreng. Salah satu momentum bersejarah di era 1980-an adalah screeningnya film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282. Di akhir era 1980-an nama Lupus dan Catatan si Boy menjadi ikon tersendiri. Menjelang era 1990-an film-film karya Cinta dalam Sepotong Roti mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional.


#Terpuruknya Perfilman Indonesia

Era 1990-an dapat dikatakan sebagai Kiamatnya perfilman Indonesia, hal ini disebabkan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Selain itu tema yang selalu menjadi Bumerang bagi perfilman tanah air adalah tema Horror sex, di era 1990-an judul-judul film Indonesia amat sangat vulgar contoh Misteri Janda Kembang, Noktah merah perkawinan, Gairah Terlarang. Meski sejumlah aktor Hollywood kelas B seperti Frank Zagarino, Chintya Rothrock, David Bradley turut meriahkan dunia film tanah air, kondisi penonton tetap tak berubah, judul film warkop terakhir di layar lebar yaitu "Saya duluan dong" setelah itu film tanah air jadi mati suri. Anehnya saat terpuruknya perfilman tanah air banyak yang menyalahkan pihak Amerika (Hollywood) dan Bioskop 21. Namun di sisi lain, di era 1990-an banyak komunitas film-film independen. Beliau-beliau inilah yang akan membangkitkan perfilman tanah air di awal 2000-an


#Era Baru Perfilman Indonesia

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia.

Awal 2000-an sempat muncul salah satu film anak yang menjadi legendaris saat itu, "Petualangan Sherina" dibintangi Derby Romeo dan Sherina Munaf. Bisa dikatakan "Petualangan Sherina" adalah oase di tengah sepinya bioskop tanah air. Lalu di tahun 2002 muncul pula film fenomenal lainnya yaitu "Ada Apa Dengan Cinta (AADC)", "Jaelangkung", dan lain sebagainya. Film Indonesia pun menemukan kembali ruhnya. Genre film juga kian variatif, alhasil di tahun-tahun berikutnya penonton mulai tertarik untuk menonton film Nasional, film-film seperti "Heart", "Naga Bonar Jadi Dua", "Ayat-Ayat Cinta" adalah film-film yang mendapat jumlah penonton tertinggi. Bahkan Film Indonesia mampu bersaing dengan film Hollywood secara sehat.

Di tahun 2011 terjadilah sebuah peristiwa yang justru menjadi Bumerang bagi perfilman tanah air, yaitu Kisruh Film Impor, apalagi di tahun itu film-film Horror Sex seperti "Goyang Jupe-Depe" dan lain sebagainya menjadi jamur. Penonton menjadi risih, mereka menginginkan Hollywood kembali seperti dulu, meskipun diantara menjamurnya film Horror Sex itu terdapat film - film berkualitas seperti "tanda tanya" karya Hanung Bramantyo.

Setelah peristiwa kisruh film Hollywood pada tahun 2011 para moviemaker semakin kreatif, film-film Horror Sex menjadi semakin sedikit. Sementara film-film Berkualitas seperti The Raid, 5 CM, Garuda di Dadaku 2, dan Laskar Pelangi pun tayang di bioskop dengan jumlah penonton yang cukup banyak. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah. 

Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar PelangiBahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.


Kesimpulan :
Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Bahkan perfilm di Indonesia baru dihadirkan pada saat kolonial Belanda masih berada di Tanah Air kita. Film yang ditayangkan untuk pertama kali di Indonesia tersebut berupa sebuah film dokumenter. Film lokal yang pertama kali pun hadir cukup lama yaitu pada tahun 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng. 

Pada tahun 1931 merupakan tahun dimana industri perfilman lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara. Dengan adanya film yang bersuara tersebut, jumlah bioskop pun meningkat dengan pesat Tercatat ada 227 bioskop yang telah dibangun pada tahun 1936. Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia I. Perfilman di Indonesia pun mengalami pasang surut. Tak heran Indonesia mengalami masa dimana film saja kita ngimpor itu terjadi pada era tahun 90-an. Artis-artis layar lebar beralih ke layar kaca. Tetapi pada 2 dekade tahun sebelum era 1990, Indonesia mengalami kebangkitan perfilman yang luar biasa. Pada zaman tersebut film Warkop DKI dan H. Rhoma Irama yang sangat mendominasi. Tak heran film mereka selalu ramai dikunjungi oleh para penonton. Dan untuk saat ini perfilman Indonesia cukup signifikan mengalami kenaikan bahkan banyak genre yang bisa kita tonton dari yang remaja/anak sekolah, action, horror, dan lain sebagainya.

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata. Dan kita masih menunggu genre animasi buatan Indonesia yang semoga selalu hadir di bioskop-bioskop Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar