Hendri Prasetyo

Selasa, 12 April 2016

On 07.13 by Unknown   No comments


Pada pembahasan kali ini, saya ingin menjelaskan mengenai kebijakan web. Apa itu kebijakan web? Sebelum ke materi yang saya akan bahas, arti dari kebijakan itu apa ya? Kebijakan ialah suatu rencana atau konsep yang  memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada seseorang untuk bergerak. Jadi, kebijakan web memiliki wewenang untuk membatasi diri kita agar kita tidak menyimpang.


Pengertian Kebijakan Web

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun, dapat terkait dalam suatu kebijakan.

Dengan kebijakan ini maka pengguna website tersebut harus tunduk terhadap kebijakan yang sudah dituliskan pada halaman website tersebut. Kebijakan tersebut dapat mengatur hak pengguna website untuk mengakses dan menggunakan website.

Kebijakan seperti ini sangatlah penting karena dapat mengurangi pelanggaran hak cipta(copyright). Pelanggaran hak cipta yang dimaksud disini adalah mengambil informasi dari suatu website tanpa menyertakan sumber/alamat website yang menjadi sumber informasi tersebut dan mengakui informasi tersebut.


Tujuan dari Kebijakan Web

Tanpa kebijakan yang spesifik, jelas, komprehensif, dan stabil, suatu organisasi adalah lebih rentan terhadap tuntutan hukum, masalah internal dan kesalahpahaman. Dengan kata lain, paparan organisasi untuk risiko meningkat. Dengan demikian, salah satu tujuan utama dalam menciptakan kebijakan web adalah untuk melindungi organisasi Anda dari risiko.


Kebijakan Konten


Disamping adanya kebijakan web, kebijakan konten juga sangat perlu agar tidak adanya sebuah penyimpangan yang memiliki sifat rasis, sara, dan lain-lainnya. Salah satu dari berbagai isu sosiokultural adalah kebijakan soal konten. Isu ini sering dibahas dari berbagai sudut pandang. Mulai dari hak asasi manusia [kebebasan berekspresi dan kebebasan berkomunikasi], pemerintah [pengendalian konten] dan teknologi [perangkat bagi pengendalian konten]. Dari diskusi-diskusi itu, ada tiga kelompok konten yang mendapat perhatian.

  ü  Konten yang pengendaliannya memiliki konsensus global. Termasuk dalam jenis ini adalah pornografi anak-anak, pembenaran akan aksi genosida, dan aksi atau organisasi terorisme, seluruhnya dilarang berdasarkan hukum internasional.

  ü  Konten yang sensitif bagi negara-negara, area atau kelompok etnik tertentu terkait dengan nilai-nilai budaya dan agama. Komunikasi online yang telah semakin global memiliki tantangan bagi nilai-nilai lokal, budaya dan agama di berbagai kelompok masyarakat. Sebagian besar pengendalian konten di negara-negara Timur Tengah dan Asia secara resmi dibenarkan demi melindungi nilai-nilai budaya tertentu. Hal ini sering berarti bahwa akses terhadap website pornogra" dan perjudian lokal dilarang.

  ü  Penyensoran politis di Internet. Pada tahun 2007, Reporter Without Borders melaporkan ada12 negara yang melakukan sensor politis di Internet.

Bagaimana kebijakan konten diterapkan
Salah satu menu kebijakan konten memasukkan pilihan-pilihan hukum dan teknis berikut ini, dan diterapkan dalam berbagai kombinasi.

Pemerintah yang menyaring konten
Elemen umum bagi penyaringan konten oleh pemerintah adalah sebuah Index Internet terhadap website yang diblokir bagi warga negaranya.11 Jika sebuah website termasuk dalam Index Internet ini, maka akses tidak akan diberikan. Secara teknis, penyaringan ini menggunakan pemblokiran Protokol Internet berbasis router, proxy server dan pengalihan arah Sistem Nama Domain [DNS].

Selain negara-negara yang kerap diasosiasikan dengan praktik penyaringan semacam ini, seperti Cina, Arab Saudi dan Singapura— beberapa negara lain semakin banyak yang mengadopsi praktik ini. Australia misalnya, menerapkan sistem penyaringan terhadap halaman-halaman nasional tertentu, meskipun bukan halaman-halaman internasional.

Pengendalian konten melalui mesin pencarian
Jembatan yang menghubungkan pengguna akhir dan konten situs web adalah mesin pencarian. Pemerintah Cina dilaporkan telah memulai salah satu contoh pengendalian konten melalui mesin pencarian ini. Jika pengguna Internet memasukkan kata-kata yang dilarang ke situs web pencarian Google misalnya, mereka akan kehilangan hubungan IP selama beberapa menit.
Respons dari Departemen Informasi Cina adalah: “…cukup umum terjadi pada beberapa situs Internet bahwa Anda kadang dapat mengaksesnya dan kadang tidak bisa. Kementerian kami tidak menerima informasi bahwa Google diblokir”.

Penyaringan melalui pencarian semacam ini menjadi salah satu sebab di balik ketegangan yang berlangsung antara Google dan pemerintah Cina. Untuk menyesuaikan dengan hukum lokal, Google kemudian memutuskan untuk membatasi sebagian materi di situs web nasional. Misalnya, pada Google versi Jerman dan Prancis, tidak mungkin mencari dan menemukan website yang berisikan materi soal Nazi. Hal ini merupakan penyensoran mandiri, untuk menghindari kemungkinan kasus-kasus di pengadilan.


Kebijakan Web di Indonesia


Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu undang–undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Di berlakukannya undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung undang-undang ini.

Dibandingkan dengan negara-negara di atas, indonesia termasuk negara yang tertinggal dalam hal pengaturan undang-undang ite. Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :

  ü  Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
  ü  Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
  ü  UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
  ü  Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
  ü  Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
a.      Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
b.      Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
c.       Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
d.      Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
e.      Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
f.        Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
g.      Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
h.      Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))



Referensi :

Simarmata, Janner. 2010. Rekayasa Web. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Ega. “CyberLaw”. ega.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/34342/Bab+V+Cyberlaw.pdf. 9 April 2016.

Kurbalija, Jovan. Agustus 2010. “Sebuah Pengantar Tentang Tata Kelola Internet”. http://www.diplomacy.edu/sites/default/files/IG%20book%20Indonesian.pdf. 11 April 2016.



0 komentar:

Posting Komentar